Putar Miring Pagerjurang | for everyone |
Sumiyati
larut dalam putaran demi putaran tanah liatnya. Di sebelahnya, si kecil
terlelap dalam ayunan Rizal, sang kakak. Inilah hari-hari Sumiyati,
salah satu perajin gerabah di Desa Pagerjurang, Kecamatan Bayat,
sekitar 12 kilometer sebelah selatan kota Klaten, Jawa Tengah. Gerabah
Pagerjurang bukanlah gerabah sembarangan. Selain kualitasnya prima,
teknologi pembuatannya pun unik, yakni dengan teknik putaran miring
yang dirintis Sunan Bayat pada 1700-an. Ia tak dibuat dengan memutar
alas lingkaran yang diletakkan mendatar. Namun, alas itu diletakkan
miring hingga beberapa derajat ke depan. Perajin pun duduk miring
sehingga dia mengolah tanah dengan posisi menyamping.
Konon teknik ini disusun berdasarkan etiket. Para pembuat gerabah yang umumnya perempuan desa lebih pantas duduk menyamping sehingga tidak perlu membuka pahanya. Cara ini dirancang untuk memudahkan perempuan yang pada masa itu mengenakan kain panjang.
Kini Sumiyati masih meneruskan tradisi. Beragam gerabah dihasilkannya, dari kendi (tempat menyimpan air minum), celengan, guci, tempat ari-ari atau plasenta bayi hingga ke mainan anak-anak. Karya Sumiyati pun terbang hingga Australia dan Italia.
Foto dan teks: Wisnu Broto
dimuat di Koran tempo Minggu, 28 Mei 2006
Konon teknik ini disusun berdasarkan etiket. Para pembuat gerabah yang umumnya perempuan desa lebih pantas duduk menyamping sehingga tidak perlu membuka pahanya. Cara ini dirancang untuk memudahkan perempuan yang pada masa itu mengenakan kain panjang.
Kini Sumiyati masih meneruskan tradisi. Beragam gerabah dihasilkannya, dari kendi (tempat menyimpan air minum), celengan, guci, tempat ari-ari atau plasenta bayi hingga ke mainan anak-anak. Karya Sumiyati pun terbang hingga Australia dan Italia.
Foto dan teks: Wisnu Broto
dimuat di Koran tempo Minggu, 28 Mei 2006
Tidak ada komentar:
Posting Komentar